Skip to main content

Kontra Negatif



Sebut aku Nadir, ini ceritaku;
Ada seseorang datang padaku meminta tolong`mengantarnya membeli sesuatu. Dia baru datang kembali dari kampung halaman katanya. Dan butuh bantuanku menemaninya. Lemah sekali dia, ada di alam pikirku. Masih terbayang jelas bagaimana dulu ia begitu perkasa.
Teman lama datang ke kotaku. Ayo bertemu adalah kata yang dicapkannya untuk mengikis rindu padaku. Ah bisa saja dia. Padahal dulu tak bertemu dua bulan saja tak pernah diindahkannya. Ada apa kali ini dia begitu melankolis.
Seorang ibu paruh baya berjalan dengan terengah tanpa beban di pundaknya. Disusurinya tepi jalan yang berlinang air hujan itu. Sawah di kanan kiri menjadi saksi perjuangannya. Langkahnya gagah, tak seperti raut wajahnya yang sendu. Anganku berkata, bukankah harusnya dia senang ketika masih dapat pulang bertemu yang dicinta.
Anak sekolah dasar itu bernama Haykal. Pada hari itu di kelasnya ada topik robot untuk dibahas di kelas. Padanya, ia bergumam ke temannya bahwa ia tak suka dengan robot. Robot itu tidak berguna! Buat apa sih susah susah bikin robot, toh tanpanya kita juga bisa bahagia! Mending uangnya buat beli mainan! Atau buat beli hape bagus!, sedikit paparnya.
Keseharian temanku ini hanya berkisar di dekat kamar kosnya saja. Baginya tidur adalah nikmat semesta. Sayang sekali apabila kita tak menikmati anugerah Tuhan yang satu itu. Paling paling, beradu otak dan beribadah adalah kegiatan sampingannya. Kegiatan utama tiap hari? Tidur tentunya.

Sebut aku Zenith, ini ceritaku;
Arti nama temanku ini adalah kehidupan. Dia baru saja mengalami kecelakaan. Dua minggu adalah waktu yang diperlukannya untuk melakukan pemulihan kaki di rumah. Dia sudah bisa berjalan meski dengan alat bantu. Ditempuhnya belasan kilometer tiap hari. Dia harus mempersiapkan pengganti ujian tengah semesternya. Beberapa waktu lalu, ia meminta bantuanku untuk membelikannya alat tulis dan buku. Dimintanya waktuku untuk menyemangatinya karena ia baru saja putus dari pacarnya. Aku mengiyakan.
Tiga bulan lalu temanku ini wisuda. Selepas ia mengenakan toganya, segera ia meniggalkan Jogja. Hampir semua teman seperjuangan tak dipamitinya. Orang tuanya membutuhkannya di rumah, penting katanya. Beberapa hari lalu ia datang menemuiku. Senang dirinya akhirnya bisa berjumpa lagi bersamaku dan teman temanku. Walaupun niat utamanya tetap pada kekasihnya yang baru saja sarjana.
Deras sekali air yang menghantam bumi kala itu. Seorang ibu baru saja selesai menengok sawahnya. Sayang sekali ia tak menyangka akan ada hujan. Mau tak mau ia pulang tanpa persiapan. Akupun dengan senang hati mengantarnya pulang. Ibu itu layak untuk mendapat senyum buah hatinya lebih cepat.
Saat aku berinteraksi dengan seorang anak sekolah dasar, aku harus paham bahwa apa yang ia katakan adalah buah dari didikan orang sekitarnya. Dan ketika aku mendengar kata pesimis darinya, aku sadar aku harus berbuat sesuatu. Aku harus mengajarinya untuk berlaku positif. Bahwa dunia ini terlalu sayang bila dihadapi dengan kata tidak. Bahwa imajinasi itu lebih berguna dibanding keraguan karena ketidakmungkinan yang di dengungkan sekitar.
Dalam bahsa Arab, Arif berarti orang yang mengetahui. Itu adalah nama depan temanku. Dia tahu kakak satu satunya yang ia punya bisa mendapat istri yang berbudi nan cantik meski dengan 7 tahun waktu lulus. Ia juga tahu orang tuanya masih sanggup membiayainya sampai dua semester kedepan. Toh ia masih bisa hidup dari hobinya bermain uang. Tapi patah hati membuatnya pesimis akan dunia. Hatinya masih tertambat di tempat lain. Ia sadar harus segera bergerak. Ia hanya menanti waktu yang tepat


Comments

Popular posts from this blog

Notulensi Majelis Ilmu Jogokariyan : Burung dan Semut #Part1

Untuk pertama kalinya, saya akan mengangkat topik mengenai apa yang saya percaya disini. Meski sudah seyogyanya tiap apa yang kita lakukan berlandaskan percaya, pengangkatan topik yang baru sekarang ini tidak lain tidak bukan merupakan pembuka atas semua tulisan. Penjelasan bahwasanya segala yang saya lakukan (termasuk menulis disini) sebenarnya merupakan implementasi kepercayaan yang saya yakini. Hasil paling akhir dari sebuah proses percaya dan berpikir. Percaya tidak ada apa apanya bukan apabila hanya diamini dalam dada tanpa aksi nyata.

2k16

First of all. Sorry it took some times for the post. Both contributor had to span holidays and we agreed to postpone our writing for the next deadline. So here I am. Writing (dedicated to this blog) for the first time in 2k16.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

Introductory

Artist and scientist analyzes the world around them in surprisingly similar ways. We as two, thinker and feeler, have a mission. To document and observe the world around us as if we're never seen it before. To learn from it. And to make a better change of us. This is a museum of our finding. A storage of our thinking and feeling.

About (effective) crying

Lot of things happened recently. And to document what happened isn't easy for me, especially to express it verbally. But recent moments is enough to (again) realize and take a look on something: the more I resist to deny that I never cry, the more I have this ability to recall each tears I've spent on something. The more I want stuff to happen, the more likely it won't happened at all. The more I did not expect something foolishly, the more calmness followed.