Jogja
mendung. Aku tak berharap apa-apa pada cuaca hari ini. Que sera sera. Aku
bersyukur masih ada sesuatu yang aku tunggu , yang akan kulakukan dan
kemungkinan-kemungkinan lain untuk dilakukan berdasar intuisiku.
Langit
abu-abu itu sepertinya diam di tempat. Apakah aku pernah memberitahumu soal
usaha angin yang berusaha mengajakku menari? Hahaha. Agaknya aku berlebihan
mengartikannya, angin hanya menggoda rok dan jilbabku, aku suka mendengar suara
mereka beradu.
Aku
bersyukur masih bisa hadir. Hadir dan tersenyum pada tetangga yang tiap pagi
menyuapi anaknya di perempatan dekat kosku. Hadir dan bertanya kepada ibuku dia
masak apa. Hadir dan memperhatikan bagaimana dosenku bercerita pengalamannya
sebagai pelaut. Hadir dan berbagi biscuit saat aku dan teman sebelah kamarku
sama-sama harus lembur karena tugas.
Coba
kalian sebutkan berapa banyak teman angkatan kalian yang hanya masuk kelas
untuk tanda tangan, telpon ayahnya untuk minta tambahan uang bulanan, sekedar
berkata “kita lihat saja nanti”, sekedar menjadi mayat hidup.
Mereka
menutup kemungkinan untuk berkontribusi lebih kepada lingkungan. Ayolah, aku
belum bicara tentang dunia atau tatanan semesta secara harfiah. Bagaimana dengan
semestamu? Kapan terakhir kali kau benar-benar merasakan penat nya naik
kendaraan umum tapi disitu kau bisa berkenalan dengan ibu-ibu yang sedang ingin
mengunjungi orang tuanya, dan kau sadar ibu ini lebih sering bertemu dengan
orang tuanya daripada dirimu sendiri? Intinya adalah, kapan terkahir kali kau
hadir secara utuh?
Utuh.
Bukan hanya bunyi menggantung sesaat setelah tiga kata itu, tapi euphoria dari
redamancy. Bukan hanya fisikmu yang memeluk temanmu yang sedang bertengkar
dengan orang tuanya, tapi juga perasaan rindu yang terselip karena kau juga
rindu orang tuamu. Bukan hanya mata kosong menerawang atau permainan duel otak
di smartphone mu saat dosen politik maritim sedang memberi penjelasan, tapi
merasakan kebanggaan juga kesedihan karena sudah lama kau tidak berada di laut dan
kau tahu, kau butuh itu. Untuk melihat matahari terbit pertama di pulau jawa,
untuk melihat riak tenang dan busa dari kapal yang kau naiki.
Merasa
utuh, karena semua ini, ternyata berhubungan dengan kita, dengan semesta
kecil yang bergejolak di batin dan
pikiran kita. Yang aku tahu, kita merasa utuh dengan cara yang unik. Jadilah
utuh. Utuhilah pikiranmu, berhenti menganut occhiolism. Genapkanlah batinmu,
sonder! Jangan terlalu lama berhenti di kata dan perasaan “okay”. Di luar sana,
ada “numinous”.
Comments
Post a Comment