Skip to main content

I think I should keep moving forward




Okay, jadi sebelum kalian ketawa baca postinganku yang satu ini, aku mau bilang kalau aku aja juga kaget aku pernah nulis beginian. Seriously, ini pathetic abes. Objectively, aku suka diksinya. Jadi, here it goes...



I think I should keep moving forward.
Suatu hari nanti, jika kau jatuh cinta padaku, jatuh cintalah pada liarnya pikiranku saat larut malam. Mengertilah, saat aku menangis diam-diam, itu bukan karena salahmu. Berikan aku waktu untuk bergumul dengan pikiranku, sayang.
Aku mencintaimu, sungguh itu fakta yang tak terbantahkan semesta. Tapi jauh sebelum hari ini, beberapa orang telah merubahku. Mereka, yang pernah kubiarkan menang, dan aku kalah telak.
I think I should keep moving forward.
Tapi sayang, aku kadang lelah berlari. Mungkin aku bisa berjalan? Atau kau mengijinkanku merangkak? Kau akan menyamai langkahku, bukan? Kau mencintaiku, suatu fakta sekaligus ilusi terindah yang aku bisa bayangkan sejauh ini.
I think I should keep moving forward.
Kau akan lelah, sayang. Kau akan lelah memberiku pengertian bahwa esok akan baik-baik saja, bahwa kita baik-baik saja. Akan ada waktu dimana kau jengah melihatku menangisi hal-hal sepele. Kita akan mencintai satu sama lain, secepatnya.
I think I should keep moving forward, till I met you.
Tuhan memberiku beberapa gambaran bagaimana aku akan bertemu denganmu. Beberapa di antaranya menyita pikiranku saat sebelum tidur, sayang. Kau akan terlihat benderang di antara yang lain, aku bisa jamin itu. Tawamu akan ikut menggema bersama tawaku, dan itu akan membuatku terkejut.
I think I should keep moving forward.
Aku akan kebingungan, sayang. Rasanya aneh, aku belum pernah merasakan sesuatu yang intimnya unik seperti ini. Tuhan membantuku agar tidak berlari lagi, sayang, karena terakhir kali aku melepas hatiku, aku berlari sampai aku terjatuh.
Mungkin, kita akan duduk di ujung bangku yang berlainan. Aku akan sibuk melihat kakiku yang terbungkus kaus kaki, dan tentu saja aku akan memainkan jempolku sendiri. Kau? Mari kita bayangkan kau sedang mendengarkan angin yang berhembus melewati rambut dan telingamu. Menyenangkan, bukan?
Itu hanya skenarioku, sayang. Bayangkan betapa menyenangkannya nanti saat kita memainkan skenario Tuhan, melebur bersama semesta, mengira dialog masing-masing dan terkejut dengan settingnya.
I think I should keep moving forward.
Sayang, malam ini aku panjatkan doa untukmu. Apapun yang kau lakukan, aku harap kau masih bisa tersenyum. Aku harap kau sehat, sayang. Aku harap kau tak lupa bersyukur pada Tuhan, bahwa hari ini ada seseorang yang belum mengenalmu, mendoakanmu diam-diam.
Aku akan beranjak ke tempat tidur sekarang. Aku harap kau ada waktu untuk mengingat kejadian konyol hari ini bersama teman-temanmu, bangga karena sudah membuatmu ibumu tersenyum dan saudaramu kesal. Simpan cerita terbaikmu, aku akan mendengarkannya, secepatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.