So I made up this scene, yang aku tahu adalah si perempuan ini harus pergi. I don't know how it's gonna end, ideas will be very appreciated! :D
Kau pernah melihat
restoran tua? Kursinya dari batangan besi dan dihubungklan oleh tali plastik
warna-warni?Eternit yang mulai kecoklatan? Kipas angin gantung yang berbunyi
krik-krik saat bergerak?Etalase dessert yang tidak terlalu penuh? Dan buku menu
yang pinggir-pinggirnya plastik laminatingnya sudah terpisah? Keluargaku suka
makan bersama di restoran macam ini.
It was Sunday, afternoon. Sambil menggendong keponakanku yang paling kecil aku
memilih tempat duduk melihat ke arah pintu. Lihatlah kota ini, membayangkan
beberapa potret berganti dari kaca yang langsung tembus ke luar itu. Aku
penasaran sejak kapan bapak tukang becak di depan mulai memutuskan
menunggu penumpang di situ.
Si kecil mulai menggeliat, dia sudah bangun. Bobotnya sudah bertambah banyak.
Setiap aku pulang, aku harus mengingatkannya lagi, bahwa aku adalah tantenya
yang suka es krim. Di meja ini terasa hangat. 2 kakak sepupuku mengatur pesanan
dan sepupuku yang lain sedang sibuk membicarakan teman mereka. Aku? Seperti
biasa, aku lebih suka diam. Mengamati sekitar.
Wanita tua berambut kecoklatan keluar siap mencatat pesanan kami. Restoran ini
menyediakan berbagai makanan berat, sup, dan dessert. Aku tak perlu memberi
tahu siapapun apa pesananku, kakak-kakakku akan berlomba siapa yang paling
cepat menebak makanan favortitku. Hahahaha. And there he was, membawa baki
dengan beberapa piring potongan es krim. Wajahnya tersenyum kepada anak
perempuan yang sudah tak sabaran menyendok es krimnya.
I had this urge to call him and I did.
“Mas, mas
yang sering dateng ke panti asuhan itu kan?”
Dia
menoleh padaku, bingung.
“aku
terakhir liat mas hari rabu kemarin” kataku mengonfirmasi lagi. Masih tak ada
jawaban. Tiba-tiba aku merasakan seluruh pandangan di restoran kecl itu tertuju
padaku.
“maaf
mbak, saya ke belakang dulu” jawabnya sopan namun sukses membuat mukaku panas
karena malu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku? Sinis terhadap cinta? Ah kau berlebihan...dan keliru.
Aku tidak sinis, Gi. Aku juga bukan sekedar iseng mengolokmu dengan dia. Aku
cemburu. Apa yang aku percaya soal cinta, apa yang ibuku katakan soal
pertemanan seumur hidup, itu semua, aku ingin lakukan denganmu.
“Bagaimana?”
Tanya Eri sambil menggamit lenganku
“luka di
dekat kelopak matanya akan dijahit malam ini juga, juga luka di pelipisnya”
“Dani?”
“Dia
masih trauma kepala, muntah-muntah sedari tadi”
Malam ini akan jadi malam yang panjang, Gi. Saat aku mendapat kabar kau
kecelakaan, rasanya seluruh syaraf di tubuhku mengabaikan tugasnya. Aku bahkan
lupa mengunci kamar kos ku, Gi. Apalah. Ibumu akan segera datang, Gi dan aku
akan kebingungan mencari alasan untuk tidak meninggalkanmu.
Eri pamit, meninggalkanku dengan lorong dan bau obat-obatannya. 02:17. Banyak
yang menanyakan kabarmu pun mengirim doa untukmu, juga Dani. Aku mendengar
percakapan antara ibumu dan ayah Dani. Mereka membicarakan tentang kalian,
bahwa mereka sepakat ini tidak bisa dilanjutkan. Malam ini berat, Gi. Saat kau
terbangun nanti, saat luka di tubuhmu bahkan belum mengering, akan ada luka
baru. Kenapa kah aku Ya Tuhan yang harus jadi saksi?
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Pikiranku masih tersangkut di restoran kemarin. Aku yakin, pemuda kemarin
adalah yang sering ke panti asuhan. Aku tak mungkin salah lihat. Otakku kemudian
menggelitik dengan bertanya balik, memangnya kalau benar dia orangnya, lalu kau
mau apa? Bagus. Aku tak tau jawabannya. Hanya ada satu solusi, membuktikan lagi
ke panti asuhan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Berulang kali rasanya aku ingin memaki diri sendiri karena berpikir bisa
memanfaatkan keadaan. Jalanku sudah terbuka, atau aku melihatnya begitu.
Entahlah. Namun, aku merasa ada yang salah, Gi. Memanfaatkan lukamu dan usaha
kedua orang tuamu untuk memisahkanmu dengan Dani.
Aku pengecut, Gi. Kau akan sembuh dalam seminggu. Jahitanmu akan dilepas
tanggal 3 Oktober. Aku tahu. Seingin apapun aku berada disana untuk menamanimu,
atau hanya sekedar egois untuk melihatmu, aku lebih memilih untuk menghilang.
Maaf, Gi. Aku membuatmu bingung karena kita satu kelompok di beberapa mata
kuliah dan aku menghindarimu dengan tidak masuk kelas. Aku hanya mengirim tugas
lewat email. Tapi sungguh, aku mengerjakannya dengan benar. Bahkan aku benci
kenapa aku begini, Gi.
Aku tahu aku akan lelah sendiri. Lelah berlari, karena aku sudah tau tujuanku,
Gi. Ibarat kau tahu jalan pulang. Bagian menyedihkannya adalah kau tak tahu
ini, Gi. Atau mungkin kau tahu, kau rasa, kau mengerti, tapi tidak untukku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini hari Sabtu, sudah hampir
seminggu aku menunggui pemuda itu di panti asuhan. Aku mulai ragu, tapi aku
yakin aku tidak salah. Aku sudah ingin memberondongnya dengan berbagai
pertanyaan.
Sambil berusaha memungut bola warna-warni yang dibuang Teo, aku melihat ke ufuk
barat. Membulatkan tekat bahwa aku akan terus mencarinya. Walau waktuku di kota
ini tinggal besok.
Comments
Post a Comment