Skip to main content

Scene 1


So I made up this scene, yang aku tahu adalah si perempuan ini harus pergi. I don't know how it's gonna end, ideas will be very appreciated! :D


                Kau pernah melihat restoran tua? Kursinya dari batangan besi dan dihubungklan oleh tali plastik warna-warni?Eternit yang mulai kecoklatan? Kipas angin gantung yang berbunyi krik-krik saat bergerak?Etalase dessert yang tidak terlalu penuh? Dan buku menu yang pinggir-pinggirnya plastik laminatingnya sudah terpisah? Keluargaku suka makan bersama di restoran macam ini.
                It was Sunday, afternoon. Sambil menggendong keponakanku yang paling kecil aku memilih tempat duduk melihat ke arah pintu. Lihatlah kota ini, membayangkan beberapa potret berganti dari kaca yang langsung tembus ke luar itu. Aku penasaran sejak  kapan bapak tukang becak di depan mulai memutuskan menunggu penumpang di situ.
                Si kecil mulai menggeliat, dia sudah bangun. Bobotnya sudah bertambah banyak. Setiap aku pulang, aku harus mengingatkannya lagi, bahwa aku adalah tantenya yang suka es krim. Di meja ini terasa hangat. 2 kakak sepupuku mengatur pesanan dan sepupuku yang lain sedang sibuk membicarakan teman mereka. Aku? Seperti biasa, aku lebih suka diam. Mengamati sekitar.
                Wanita tua berambut kecoklatan keluar siap mencatat pesanan kami. Restoran ini menyediakan berbagai makanan berat, sup, dan dessert. Aku tak perlu memberi tahu siapapun apa pesananku, kakak-kakakku akan berlomba siapa yang paling cepat menebak makanan favortitku. Hahahaha. And there he was, membawa baki dengan beberapa piring potongan es krim. Wajahnya tersenyum kepada anak perempuan yang sudah tak sabaran menyendok es krimnya.
                I had this urge to call him and I did.
“Mas, mas yang sering dateng ke panti asuhan itu kan?”
Dia menoleh padaku, bingung.
“aku terakhir liat mas hari rabu kemarin” kataku mengonfirmasi lagi. Masih tak ada jawaban. Tiba-tiba aku merasakan seluruh pandangan di restoran kecl itu tertuju padaku.
“maaf mbak, saya ke belakang dulu” jawabnya sopan namun sukses membuat mukaku panas karena malu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku? Sinis terhadap cinta? Ah kau berlebihan...dan keliru. Aku tidak sinis, Gi. Aku juga bukan sekedar iseng mengolokmu dengan dia. Aku cemburu. Apa yang aku percaya soal cinta, apa yang ibuku katakan soal pertemanan seumur hidup, itu semua, aku ingin lakukan denganmu.
“Bagaimana?” Tanya Eri sambil menggamit lenganku
“luka di dekat kelopak matanya akan dijahit malam ini juga, juga luka di pelipisnya”
“Dani?”
“Dia masih trauma kepala, muntah-muntah sedari tadi”
                Malam ini akan jadi malam yang panjang, Gi. Saat aku mendapat kabar kau kecelakaan, rasanya seluruh syaraf di tubuhku mengabaikan tugasnya. Aku bahkan lupa mengunci kamar kos ku, Gi. Apalah. Ibumu akan segera datang, Gi dan aku akan kebingungan mencari alasan untuk tidak meninggalkanmu.
                Eri pamit, meninggalkanku dengan lorong dan bau obat-obatannya. 02:17. Banyak yang menanyakan kabarmu pun mengirim doa untukmu, juga Dani. Aku mendengar percakapan antara ibumu dan ayah Dani. Mereka membicarakan tentang kalian, bahwa mereka sepakat ini tidak bisa dilanjutkan. Malam ini berat, Gi. Saat kau terbangun nanti, saat luka di tubuhmu bahkan belum mengering, akan ada luka baru. Kenapa kah aku Ya Tuhan yang harus jadi saksi?
----------------------------------------------------------------------------------------------------
                Pikiranku masih tersangkut di restoran kemarin. Aku yakin, pemuda kemarin adalah yang sering ke panti asuhan. Aku tak mungkin salah lihat. Otakku kemudian menggelitik dengan bertanya balik, memangnya kalau benar dia orangnya, lalu kau mau apa? Bagus. Aku tak tau jawabannya. Hanya ada satu solusi, membuktikan lagi ke panti asuhan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
                Berulang kali rasanya aku ingin memaki diri sendiri karena berpikir bisa memanfaatkan keadaan. Jalanku sudah terbuka, atau aku melihatnya begitu. Entahlah. Namun, aku merasa ada yang salah, Gi. Memanfaatkan lukamu dan usaha kedua orang tuamu untuk memisahkanmu dengan Dani.
                Aku pengecut, Gi. Kau akan sembuh dalam seminggu. Jahitanmu akan dilepas tanggal 3 Oktober. Aku tahu. Seingin apapun aku berada disana untuk menamanimu, atau hanya sekedar egois untuk melihatmu, aku lebih memilih untuk menghilang.
                Maaf, Gi. Aku membuatmu bingung karena kita satu kelompok di beberapa mata kuliah dan aku menghindarimu dengan tidak masuk kelas. Aku hanya mengirim tugas lewat email. Tapi sungguh, aku mengerjakannya dengan benar. Bahkan aku benci kenapa aku begini, Gi.
                Aku tahu aku akan lelah sendiri. Lelah berlari, karena aku sudah tau tujuanku, Gi. Ibarat kau tahu jalan pulang. Bagian menyedihkannya adalah kau tak tahu ini, Gi. Atau mungkin kau tahu, kau rasa, kau mengerti, tapi tidak untukku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
               Ini hari Sabtu, sudah hampir seminggu aku menunggui pemuda itu di panti asuhan. Aku mulai ragu, tapi aku yakin aku tidak salah. Aku sudah ingin memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.
                Kata salah satu pengurus panti, Risa, anak panti umur 5 tahun, sedih karena om yang sering mengajaknya bermain sudah tidak datang sejak minggu lalu. Aku yakin itu kau. Apa yang membuatmu tidak datang?
                Sambil berusaha memungut bola warna-warni yang dibuang Teo, aku melihat ke ufuk barat. Membulatkan tekat bahwa aku akan terus mencarinya. Walau waktuku di kota ini tinggal besok.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.