Skip to main content

Fiction on October

1:39. Ah kancing terakhir jaketku lepas. Apalah. Pelan-pelan aku mengendap membuka pintu depan, dan masuk ke mobil. Kuusap lagi mataku, mencoba membuat jelas penglihatanku, salah, nyatanya malah membuat blur.
Sepi. Jalan raya Solo-Jogja sepi. Lampu jalannya terpias ke aspal, dan aku menghitung, ada 43 tiang lampu yang aku lewati. Strategi yang bagus untuk tetap menjaga mataku tetap terbuka.
Sapaan ramah khas fast-food menyapaku, aku mengumpat, kenapa seseorang bernama Rina ini bisa tersenyum lebar jam 1:52. Tidakkah dia punya masalah dengan kantuknya atau mesin es krim yang macet? Oke, aku mulai meracau sendiri.
Kopiku belum ingin diminum, katanya jika diminum sekarang, dirinya hanya akan menyengat bibirku yang kering. Kenapa aku terbangun? Ah bukan apa-apa. Self-defense terhadap rinduku tak bekerja saat malam hari, jadi aku harus memikirkan cara, memutar otak, bagaimana mengusirnya dengan sopan.
Dan lagi, aku mulai mengingat. Mengingat bagaimana pertama kali aku disapa oleh sunset yang bisa aku lihat sepeti kuning telur di atas baleho “Mumbay Textil” di dekat Gardena. Juga bagaimana kota ini, selalu memberi kesempatan padaku, untuk menerima banyak wajah dari para pendatangnya.
Saat mulai mengetik kalimat kelima dari laporan magang terakhirku. Seseorang di bawah flat tv berdeham. Apa aku salah dengar? Aku punya firasat dia tidak hanya berdeham untuk membersihkan tenggorokannya. Dia meminta waktuku. Aku bersitatap dengannya. Mungkin tampangku lusuh, jadi dia malah membuang muka. Apalah.
Kantukku mulai menyerang. Hal bodoh lain yang mungkin aku lakukan adalah kembali kos, karena nanti jika aku sudah di atas kasur, kantuk ini hilang malah diganti rengekan agar kau cepat pulang. Aku harus tetap disini. Kopiku belum ingin diminum. Ah aku minta tambahan es krim saja di atasnya.
Sekarang yang melayaniku namanya Faandi. Aku geli ingin bertanya kenapa namanya harus menggunakan dua huruf A seperti itu, namun urung, karena mesin es krim nya rusak. Jadilah aku hanya minta es batu. Semoga mood Faandi segera membaik.
Lelaki yang berdeham tadi, sudah duduk di depan kursiku. Aku tersenyum padanya, mungkin aku bisa bertanya apa dia punya teori kenapa Jogja menjadi candu untuk beberapa orang.
“aku pikir kita bisa bercakap” katanya ramah. Ide bagus. Itu juga hal yang ingin kulakukan.
“terdengar mengasyikkan, apa yang kau punya?”
“ini” dia menggulung lengan panjang kaosnya. Aku bisa melihat jelas, dari pergelangan sampai siku, penuh, tato. Oke, aku insecure akan menampakkan wajah terkejut di depannya. Kita berdua terdiam. Aku tidak bohong, bahwa baru saja aku ada perasaan khawatir bahwa dia akan melukaiku. Aku sudah mengeluarkan satu kakiku dari bawah meja, bersiap untuk lari.
“kau tak terpengaruh ya?” WELL DONE, tepuk tangan untuk diriku sendiri.
“bukan hal baru yang aku lihat, hanya saja, melihat di lantai 2 ini, dengan apa yang baru saja kau tunjukkan, dan mungkin senjata tajam, aku sudah bisa lebam di kening sekarang” dia menaikkan alis, dan aku sadar aku meracau.
“karena aku akan lari, dan aku tak pernah bisa mengkoordinasikan kakiku saat berlari, aku membayangkan aku jatuh di tangga itu, terjerembab” lalu aku merasakan nyeri tak penting di lututku. Lelaki bertato inii tertawa.
“apakah aku harus memberi jaminan?”
“ah tak perlu” aku mengibaskan tangan, dengan lega dan gembira ,dan agak egois aku menyeruput habis si kopi.

“karena di Jogja, kau akan terkejut dengan bagaimana orang lain akan melanjutkan kalimatmu. Karena disini juga, kau paham, bahkan setelah tanda titik, kau masih punya kesempatan untuk membuat paragraf baru.”

Aku terngiang kalimatnya saat kembali ke kos. 3:18. Jalanan sudah mulai agak ramai. Saat aku berhenti di traffic light, aku tersenyum, melihat pasangan suami istri yang sepertinya baru kembali dari pasar. Bagiku? Jogja itu untuk jatuh hati, berkali-kali.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.