1:39. Ah kancing
terakhir jaketku lepas. Apalah. Pelan-pelan aku mengendap membuka pintu depan,
dan masuk ke mobil. Kuusap lagi mataku, mencoba membuat jelas penglihatanku,
salah, nyatanya malah membuat blur.
Sepi. Jalan raya
Solo-Jogja sepi. Lampu jalannya terpias ke aspal, dan aku menghitung, ada 43
tiang lampu yang aku lewati. Strategi yang bagus untuk tetap menjaga mataku
tetap terbuka.
Sapaan ramah khas
fast-food menyapaku, aku mengumpat, kenapa seseorang bernama Rina ini bisa
tersenyum lebar jam 1:52. Tidakkah dia punya masalah dengan kantuknya atau
mesin es krim yang macet? Oke, aku mulai meracau sendiri.
Kopiku belum ingin
diminum, katanya jika diminum sekarang, dirinya hanya akan menyengat bibirku
yang kering. Kenapa aku terbangun? Ah bukan apa-apa. Self-defense terhadap
rinduku tak bekerja saat malam hari, jadi aku harus memikirkan cara, memutar
otak, bagaimana mengusirnya dengan sopan.
Dan lagi, aku mulai
mengingat. Mengingat bagaimana pertama kali aku disapa oleh sunset yang bisa
aku lihat sepeti kuning telur di atas baleho “Mumbay Textil” di dekat Gardena. Juga
bagaimana kota ini, selalu memberi kesempatan padaku, untuk menerima banyak
wajah dari para pendatangnya.
Saat mulai mengetik
kalimat kelima dari laporan magang terakhirku. Seseorang di bawah flat tv
berdeham. Apa aku salah dengar? Aku punya firasat dia tidak hanya berdeham
untuk membersihkan tenggorokannya. Dia meminta waktuku. Aku bersitatap
dengannya. Mungkin tampangku lusuh, jadi dia malah membuang muka. Apalah.
Kantukku mulai menyerang.
Hal bodoh lain yang mungkin aku lakukan adalah kembali kos, karena nanti jika
aku sudah di atas kasur, kantuk ini hilang malah diganti rengekan agar kau
cepat pulang. Aku harus tetap disini. Kopiku belum ingin diminum. Ah aku minta
tambahan es krim saja di atasnya.
Sekarang yang
melayaniku namanya Faandi. Aku geli ingin bertanya kenapa namanya harus
menggunakan dua huruf A seperti itu, namun urung, karena mesin es krim nya
rusak. Jadilah aku hanya minta es batu. Semoga mood Faandi segera membaik.
Lelaki yang berdeham
tadi, sudah duduk di depan kursiku. Aku tersenyum padanya, mungkin aku bisa
bertanya apa dia punya teori kenapa Jogja menjadi candu untuk beberapa orang.
“aku pikir kita bisa bercakap” katanya ramah.
Ide bagus. Itu juga hal yang ingin kulakukan.
“terdengar mengasyikkan, apa yang kau punya?”
“ini” dia menggulung lengan panjang kaosnya. Aku bisa melihat jelas, dari pergelangan sampai siku, penuh, tato. Oke, aku insecure akan menampakkan wajah terkejut di depannya. Kita berdua terdiam. Aku tidak bohong, bahwa baru saja aku ada perasaan khawatir bahwa dia akan melukaiku. Aku sudah mengeluarkan satu kakiku dari bawah meja, bersiap untuk lari.
“terdengar mengasyikkan, apa yang kau punya?”
“ini” dia menggulung lengan panjang kaosnya. Aku bisa melihat jelas, dari pergelangan sampai siku, penuh, tato. Oke, aku insecure akan menampakkan wajah terkejut di depannya. Kita berdua terdiam. Aku tidak bohong, bahwa baru saja aku ada perasaan khawatir bahwa dia akan melukaiku. Aku sudah mengeluarkan satu kakiku dari bawah meja, bersiap untuk lari.
“kau tak terpengaruh ya?” WELL DONE, tepuk
tangan untuk diriku sendiri.
“bukan hal baru yang aku lihat, hanya saja, melihat di lantai 2 ini, dengan apa yang baru saja kau tunjukkan, dan mungkin senjata tajam, aku sudah bisa lebam di kening sekarang” dia menaikkan alis, dan aku sadar aku meracau.
“karena aku akan lari, dan aku tak pernah bisa mengkoordinasikan kakiku saat berlari, aku membayangkan aku jatuh di tangga itu, terjerembab” lalu aku merasakan nyeri tak penting di lututku. Lelaki bertato inii tertawa.
“bukan hal baru yang aku lihat, hanya saja, melihat di lantai 2 ini, dengan apa yang baru saja kau tunjukkan, dan mungkin senjata tajam, aku sudah bisa lebam di kening sekarang” dia menaikkan alis, dan aku sadar aku meracau.
“karena aku akan lari, dan aku tak pernah bisa mengkoordinasikan kakiku saat berlari, aku membayangkan aku jatuh di tangga itu, terjerembab” lalu aku merasakan nyeri tak penting di lututku. Lelaki bertato inii tertawa.
“apakah aku harus memberi jaminan?”
“ah tak perlu” aku mengibaskan tangan, dengan lega dan gembira ,dan agak egois aku menyeruput habis si kopi.
“ah tak perlu” aku mengibaskan tangan, dengan lega dan gembira ,dan agak egois aku menyeruput habis si kopi.
“karena di Jogja, kau akan terkejut dengan
bagaimana orang lain akan melanjutkan kalimatmu. Karena disini juga, kau paham,
bahkan setelah tanda titik, kau masih punya kesempatan untuk membuat paragraf
baru.”
Aku terngiang kalimatnya saat kembali ke kos.
3:18. Jalanan sudah mulai agak ramai. Saat aku berhenti di traffic light, aku
tersenyum, melihat pasangan suami istri yang sepertinya baru kembali dari
pasar. Bagiku? Jogja itu untuk jatuh hati, berkali-kali.
Comments
Post a Comment