Skip to main content

Tentang Miro

Kali terakhir saya berduka atas kepergian sosok seorang pesepakbola dari lapangan bola adalah saat Piala Dunia dihelat pada tahun 2014 lalu di benua Amerika. Bukan karena hebat pun garangnya pemain ini mengolah si kulit bundar. Namun lebih ke bagaimana pemain ini menjadi sinar paling terang di timnya tanpa ia sadari. Tanpa ia ingini. Tanpa ia harapi keinginan pribadinya lebih dari keinginan tim dan negaranya untuk mengangkat gelar juara.

Ada sesosok manusia yang apabila dihadapkannya kemudahan dalam menggapai tujuan hidup akan dengan senang hati menerimanya. Namun dalam hal sepakbola, pemain ini menolaknya. Ia memilih untuk menegakkan kebenaran. Ia memilih umtuk mengikuti apa yang kata hatimya yakini benar.

Sebenarnya saya mengikuti kiprah beliau baru sejak 2002. Awal perjumpaan kita adalah ketika hattrick yang ia ciptakan melawan Arab Saudi. Disitu ia seketika mencuri hati saya. Hingga pensiunnya, saya selalu mengikuti gol yang ia ciptakan, tim yang ia bela, hingga penampilan resmi bersama negaranya.

Cerita pemain ini sebenarnya berasal dari tim kecil bernama Kaiserslautern. Penampilan ciamiknya bersama negaranya lah yang membuat banyak tim besar mengeluarkan uang yang tak sedikit untuknya. Bicara tentang asal, pemain ini juga sebenarnya memiliki pilihan untuk membela dua negara. Namun Jerman menjadi pilihannya dengan mengenyampingkan Polandia. Terbukti itu adalah pilihan tepat. Rekor pencetak gol terbanyak di Piala Dunia menjadi pencapaiannya selama menginjakkan kaki di lapangan.

Satu hal yang jelas. Pemain ini sebenarnya memiliki skill yang bisa dibilang rata-rata. Menendang tidak keras. Pun tidak cukup berskill tinggi untuk ber rabona atau menciptakan gol banana kick yang wah. Power pun hanya menang postur namun jika di press ketat mudah tumbang. Apalagi kecepatan. Jarang gol terobosan tercipta dari pemain ini. Lalu bagaimana pemain ini bisa menciptakan rekor pencetak gol terbanyak di Piala Dunia? Menurut saya satu: kerendahan hatinya.

Kalau dilihat secara kolektif, permainan pemain yang berposisi sebagai penyerang ini lebih cenderung terlihat pasif. Pun dalam penciptaan peluang, kontribusi pemain ini minim. Namun ada pembeda disitu. Cara bermain. Visi. Intensi. Segala yang ia lakukan di lapangan, pengorbanan, targetman, positioning, adalah untuk timnya berkreasi. Dan dengan kepercayaannya pada rekan se tim nya, tim nya pun memiliki kepercayaan padanya. Gol yg bisa dimiliki teman setim nya hampir selalu dialirkan padanya untuk dikonversi menjadi gol. Permainan semi tiki-taka yang indah pun seringkali hadir dari jalinan kepercayaan ini. Hingga rekorpun tercipta.

Yang saya ingat, pemain ini hampir tidak pernah terlihat marah pada rekan setimnya. Senyum selalu menghiasi wajahnya yang merona. Ah sungguh mempesona. Tak jarang pula ia menyeret anaknya ke lapangan saat pertandingan telah usai dengan istrinya. Haha

Inti tulisan ini sebenarnya sederhana. Bagaimana saya bisa ngefans dengan Miro. Dan kronologinya. Sampai sekarang pun belum ada gantinya. Baiklah selamat menikmati final esok hari!

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.