Skip to main content

Jadi, Mau Bertamu Kapan?

Di salah satu kolom buku Tarbawi Santri, ada kolom soal silaturahim. Satu-satunya kolom yang menimbulkan banyak cerita.

Semenjak resmi berada dalam masa penantian judul, aku rutin mengagendakan siapa saja hari ini yang akan aku kunjungi. Dan, dari pertemuan-pertemuan itu, banyak kemirisan yang kudengar.

Cerita pertama dari teman yang menjanjikanku oleh-oleh dari kepulangannya dari KKN Internasional. “bukan, Bil. Tangannya dia bukan patah gegara jatuh atau kecelakaan, tapi gegara adu panco sama cowok.” Hening. Adu Panco. Cewek dengan cowok. “Iya, keliatannya salah posisi gitu. Orang-orang di sekitarnya aja katanya pada denger bunyi patahnya kok. Krek gitu.”.  Okay. Semoga dia segera diberi kesembuhan.

Cerita kedua datang dari teman yang biasanya aku inepin dan protes kenapa aku jarang nginep rumahnya lagi. Aku bilang perijinan disini tiga lapis hahaha. Ceritanya seputaran bergesekan kepentingan antara ia dengan kakak sepupunya yang tinggal bersama. Hmmmm.... emang, tinggal bareng itu ternyata ga sesimpel nyampur cemacem buah buat jadi es buah ya. Kadar kepekaan harus disamakan, kadar toleransi harus tinggi, pembatasan privasi yang jelas, dan komunikasi efektif. Keliru kata bisa—bisa yang bermasalah bukan hanya kita dan dia, tapi juga keluarga besar.

Anyway, satu hal yang selalu pingin aku ulang adalah ngendon di rumah orang. Cuma nonton tv, catch-up soal apa yang lagi dia kerjain dan apa masalahnya, cerita soal aku sendiri, makan di meja makan dan tidur. Oke, bukan “numpang”nya disini yang aku tekanin ya, tapi esensi dari silaturahim secara sederhana.

Kayanya tiap lorong jalan yang bahkan kurang besar pun di Jogja sekarang uda banyak tumbuh cafe, bistro, lounge, dll. Dan sasarannya siapa lagi kalau bukan mahasiswa dan pegawai kantoran. Tempat-tempat ini biasanya instagram-able. Bahkan tak jarang, mereka yang kesana Cuma pesen minum dan memuaskan diri dengan berfoto. Teman yang tadi diniatkan untuk menyambung silaturahim dan membahas masalah-masalah pribadi, malah disibukkan oleh “disini ada wifi ga?”, “eh udah aku tag ya, like loh jangan lupa”, atau “ hahaha...langsung dikomen langsung dikomen sama inii....baca deh”.

Kebiasaan mengetuk pintu dan memanggil-manggil dari luar pagar berubah menjadi teks “oy, gue di luar”. Kebiasaan mencium tangan orang tua teman kita juga sudah jarang. Makan makanan hasil masakan ibunya teman kita juga seringnya dianggap kurang gaul kalau dibanding dengan pasta atau patisserie di cafe yang harga minumannya saja harganya puluhan ribu.

Kapan terkahir kali kau benar-benar bertamu?

Mendengarkan cerita ibunya temanmu soal kebingungannya menggunakan whatsapp, mendengarkan pendapat ayahnya temanmu soal siapa yang akan dipilihnya jika ia warga Jakarta, dan menyediakan tangan terbuka saat adiknya temanmu ketakutan karena mati lampu dadakan.

Kapan?

Seperti salah satu bab di La Tahzan, “Harus Ada Teman”. Cuplikan hadis yang menjadi dalilnya adalah “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena kebesaran-Ku? Hari ini, di hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Ku, Aku menaungi mereka dengan naungan-Ku”.


Jadi mau bertamu kapan?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Kreasi dan Konsumsi

Bagaimana kita mencerna berpengaruh terhadap kualitas aksi yang kita lakukan. Apa yang menjadi asupan kita bertindak sebagai bahan bakar semangat. Dan kapan aksi yang kita lakukan menjadi gambaran bagaimana hidup akan berjalan.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

On Piece of Believing

As much as I like to have faith in Islam, a piece of belief can never reflect me as a whole. To believe isn’t necessarily represent the beliefs itself. And to believe can never ever tells us what’s wrong with the beliefs. But as a conscious and rational human being, we have to proceed with a given acceptable method (or invent one). To know what’s wrong is to know thyself.

Review Menulis

Terhitung awal Maret, ketekunan menulis di portal ini yang dimulai semenjak Agustus 2015 sedikit terganggu. Sebagai gantinya, bulan ini akan ada banyak tambahan tulisan dari bulan lalu. Sedikit kealpaan di dunia maya penulisan selalu jadi justifikasi paling masuk akal karena beragam tuntutan tanggungan yang menggunung. Tapi untuk membiasakan budaya tidak gampang pamrih dan konsisten, tulisan ini hadir.