Skip to main content

Patuh?

“Aduh mah, kamu manutan banget sih?”

Reaksi teman satu jilid tahsin aku ini bikin aku berfikir dalam-dalam.

Oke, awalnya dia kaget mengetahui jurusanku ilmu Hubungan Internasional (mungkin menurutnya bukan jurusan umum untuk santri?). Lalu, karena diaa punya banyak proyek enterpreneurship yang digarap, ia mengajakku untuk membuka salah satu pasar di Brunei. Mau jualan apa? Katanya gamis.

Aku yang kurang paham gimana juga hanya menyarankannya untuk survei pasar dulu. “Ayolah yuk ke Brunei, murah kok ya, deket lagi” ajaknya antusias. Setelah mengutarakan keenggananku untuk pergi jauh tanpa ada yang mendampingi, ia komen dengan kalimat di atas. Komen yang membuatku malu.

Karena sungguh dia tidak tahu, seberapa tidak “manut”nya aku dulu. Seberapa banyak kisah dan pelajaran yang harus alami, both in easy way and hard way, untuk sampai taraf yang katanya “manut” ini. I’ve been there.

Ceritanya lagi, ia pernah hampir ingin menikah namun tak jadi karena salah niat. “Waktu aku ditanya sama dia (calon suami)nya, kenapa aku pingin nikah, ya aku bilang soalnya aku pingin pergi-pergi, jalan-jalan. Habis ayahku tu kalau aku minta ijin naik gunung itu ya, main kesini ya, kesitu ya, beliau bilangnya iya boleh tapi besok ya sama suamimu”.

Aku menghela nafas. Sebenarnya, apa yang ia definisikan “manut” ini adalah pilihan. Pilihan yang aku pilih dan memilihku. Karena, “manut” bukan terminologi yang tepat untuk mendeskripsikan hubunganku dengan orang tuaku. Bukan mereka tidak mendiktekan, bukan juga akunya yang belangsatan, tapi beliau-beliau hanya memberi pilihan dan benar-benar membiarkanku menguji satu per satu pilihanku.

Aku bukan anak yang “manut”. Terlihat dari keberanianku memotong poni saat kelas satu SD dulu, hanya gegara ngerasa risih karena setiap hari harus pake poni untuk menutupi jidatku. Terlihat dari keberanianku untuk memilih ikut pulang bersama temanku, daripada menunggu jemputan dan menonton kartun di rumahnya, dan menyebabkan orang tua dan eyangku kebingungan mencariku. Terlihat dari keberanianku untuk terus mengikuti hal-hala di luar kampus, bahkan saat ayahku sendiri terus mengatakan bahwa aku harus fokus kuliah saja.

Apa-apa yang aku pilih sekarang, apa-apa yang terliihat seperti kepatuhan sekarang, sebenarnya adalah sebuah pilihan. Yang aku lihat manfaatnya dari berbakti kepada orang tua, dan menjaga diri. Yang sudah aku uji pilihan satunya dan membuatku makin buruk di hadapan penciptaku. Yang aku sedang berusaha untuk ingat-ingat (dan terbiasa mengingatnya) sebagai suatu hal yang cukup dan tidak ingin aku ulang.

Patuh atau tidak itu pilihan juga. Dan sungguh aku berhutang banyak pada kedua orang tuaku karena selama ini belum bisa patuh, belum bisa menjaga diri sama seperti apa yang mereka usahakan untukku, belum bisa menerima dengan ikhlas apa yang pernah dipilihkan mereka. Semoga mereka memaafkanku untuk itu.


Comments

Popular posts from this blog

Notulensi Majelis Ilmu Jogokariyan : Burung dan Semut #Part1

Untuk pertama kalinya, saya akan mengangkat topik mengenai apa yang saya percaya disini. Meski sudah seyogyanya tiap apa yang kita lakukan berlandaskan percaya, pengangkatan topik yang baru sekarang ini tidak lain tidak bukan merupakan pembuka atas semua tulisan. Penjelasan bahwasanya segala yang saya lakukan (termasuk menulis disini) sebenarnya merupakan implementasi kepercayaan yang saya yakini. Hasil paling akhir dari sebuah proses percaya dan berpikir. Percaya tidak ada apa apanya bukan apabila hanya diamini dalam dada tanpa aksi nyata.

2k16

First of all. Sorry it took some times for the post. Both contributor had to span holidays and we agreed to postpone our writing for the next deadline. So here I am. Writing (dedicated to this blog) for the first time in 2k16.

Pilot: The Beginning of The End

Have you ever think for once that life is short? Even though it's the longest we ever experience Or the more time we have, the more time there is to waste? As counter intuitive as it sounds, if life lasted forever we might never get around to asking someone out on a date, writing a journal, or traveling around the world, because there will always be tomorrow.

Scene 2

                Dia paham disana ada semua yang dicarinya. Disapukannya jemari lentik berwarna nude itu ke antara buku-buku yang disampul plastik rapi. Entah, hari ini dia berakhir tertegun di rak huruf S. Dipandanginya barisan buku itu tanpa ampun. Bukan dia hendak memilih, bukan, dia hanya memastikan tidak ada yang terbalik penempatannya.

Introductory

Artist and scientist analyzes the world around them in surprisingly similar ways. We as two, thinker and feeler, have a mission. To document and observe the world around us as if we're never seen it before. To learn from it. And to make a better change of us. This is a museum of our finding. A storage of our thinking and feeling.