“ Jika hati telah diliputi rasa putus asa
dan hati yang lapang telah menjadi sesak.
Kala ujian dan cobaan telah menjalar,
dan di dalam hati telah berdiam semua bencana.
Engkau tahu harus ke mana mengusir kesulitan
dan tidak pula bermanfaat usaha orang-orang pintar.
Saat itulah datang bantuan untuk putus asamu,
dari Rabb Yang Maha Pemberi dan Maha Dekat.
Semua peristiwa walaupun telah memuncak,
akan bersambung dan akan ada jalan keluar dalam waktu dekat.”
dan hati yang lapang telah menjadi sesak.
Kala ujian dan cobaan telah menjalar,
dan di dalam hati telah berdiam semua bencana.
Engkau tahu harus ke mana mengusir kesulitan
dan tidak pula bermanfaat usaha orang-orang pintar.
Saat itulah datang bantuan untuk putus asamu,
dari Rabb Yang Maha Pemberi dan Maha Dekat.
Semua peristiwa walaupun telah memuncak,
akan bersambung dan akan ada jalan keluar dalam waktu dekat.”
- - Ali bin Maqlah -
Tema besar kajian malam ini bukan
tentang materi adab dan akhlak, melainkan hanya pengulangan apa yang sudah
disampaikan. Buru-buru aku buka catatanku dari halaman pertama, mungkin aku
nanti bisa mengacungkan tangan jika ada pertanyaan. Yang ada malah aku harus
menyembunyikan tanganku jika ingin menyeka air mata.
Malam ini, aku merutuki kemampuan
diriku sendiri untuk mengeluarkan air mata di atas rata-rata. Kenapa harus juga
duduk di bangku depann?! Kenapa ini meler juga?! Aku hanya bisa menundukkan
kepala sambil terus mendengarkan (benar-benar mendengarkan) cerita ustadz soal
salah seorang sahabat Nabi, Ulbah bin Zaid.
Ulbah bin Zaid bersumpah, disaksikan
Allah, bahwa malam itu, malam sebelum perang Tabuk, di tengah frustasinya ia karena
tidak bisa menginfakkan harta apapun, untuk menyedekahkan kehormatannya.
Ia memaafkan semua orang yang pernah
mendzoliminya.
Paginya, ia mendapat kabar baik dari
Nabi bahwa sedekahnya semalam telah diterima oleh Allah.
Jika seseorang memang benar-benar
berniat melakukan sesuatu, beribu alasan pun tak akan menghentikannya. Dan sebaliknya.
Semua keinginan membawa
konsekuensinya, perjuangan. Ironisnya, manusia dengan tangannya yang kecil
berusaha menjangkau banyak keinginan tapi anti dengan konsekuensinya.
Apa-apa yang dicapai tanpa usaha,
maka tak akan bernilai.
TAK BERNILAI.
Beda kasus jika Ulbah bin Zaid
merupakan pedagang kaya raya yang menyedekahkan hartanya, mungkin Nabi tidak
akan datang menyampaikan kabar baik itu. Bukan begitu? Padahal disitu ada
sahabat-sahabat lain yang menyedekahkan materi yang lebih. 10000 dirham, 100
dinar, semua itu belum sepadan dengan rasa penyerahan diri yang frustasi karena
ingin bersedekah. Sungguh, disini kita melihat bahwa Ulbah bin Zaid sebenarnya
adalah pedagang yang kaya raya,
bukan?
Rasa frustasi itu, usaha untuk tetap
berbuat itu, penyerahan diri sepenuhnya itu.
Apakah kita sebagai muslim
mempunyainya?
Rasa frustasi, yes absolutely
Usaha untuk tetap berbuat, sure, some of us
Penyerahan diri sepenuhnya, um wait...what do you mean?
Rasa frustasi, yes absolutely
Usaha untuk tetap berbuat, sure, some of us
Penyerahan diri sepenuhnya, um wait...what do you mean?
Penyerahan diri disini merupakan
manifestasi dari perjuangan. Yang membuat ampunan dari Ulbah bin Zaid ini ke
semua orang yang pernah mendzoliminya, menjadi berharga, menjadi bernilai.
Akan banyak alasan datang untuk menghentikan
kita dari obsesi kita. Banyak.
Seperti alasan udzur yang pantas
dipredikatkan pada Abu Thalhah. Tapi menakjubkannya ia mematahkannya dengan
menggunakan perintah Allah At-Taubah ayat 41, tentang perintah berjihad baik
dalam keadaan ringan maupun berat.
Ia menolak untuk berhenti dari
obsesinya untuk berjihan bersama Nabi. Bahkan saat Nabi menolaknya karena
alasan umurnya yang sudah terlampau tua, ia tetap tidak menyerah, ia terus
memohon untuk diikutkan.
Usaha untuk tetap berbuat, kan? Inilah
yang membuat syahidnya berharga.
Dibanding kantuk saat kelas,
kehujanan saat ingin mengikuti kajian, dan godaan untuk ngobrol dengan teman
semeja, pengorbanan mereka berada di level yang jauh lebih tinggi.
Jadi, seberapa kita menghargai ilmu
kita? Seberapa kita menghargai ustadz dan ustadzah kita? Seberapa kita
menghargai Qadha Allah bagi kita? Jika kau menghargainya dengan syukur yang
banyak, maka kau akan berjanji untuk mendengarkan (benar-benar mendengarkan)
mulai dari sekarang.
Adakah usaha kita untuk tetap
berbuat dan meniatkan diri untuk menuntut ilmu sebagai bukti penyerahan diri
kita? Adakah semua usaha yang telah kita perbuat di masa lalu menjadi sesuatu
yang berharga untuk hari ini dan masa depan?
Sudahkah kita berjuang?
Comments
Post a Comment