- People say to you, "you've changed", or something like that, well, I hope for the sake of God that you have changed, because I don't want to be the same person all my life. I want to be growing, I want to expanding. I want to be changing. Because animate things change, inanimate things don't change. Dead things don't change. And the heart should be alive, it should be changing, it should be moving, it should be growing, its knowledge should be expanding -
Change?
Ini
semua berawal saat aku duduk di bangku SMA dan jenuh akan sekolah. Aku
membayangkan betapa hebatnya jika aku bisa bekerja di salah satu yayasan panti
jompo daripada duduk disini mendengarkan celotehan guruku tentang protein ATP
lalala. Mulailah aku mencari data alamat dan nomor telepon tentang panti jompo
dan panti asuhan di Jogja. Untuk apa? Percayalah, aku waktu itu juga tidak
tahu.
Setahun
pertama di perkuliahan aku sibuk dengan UKM ku. Salah satu proyek yang aku
talangi adalah mendatangkan foreigner ke TK. Tentu saja kau bisa bayangkan
bagaimana bingungnya menghubungkan si bule ini yang sama sekali belum tahu
bahasa Indonesia, dengan anak-anak umur 4-5 tahun yang menyusun kalimat saja
masih belepotan dan takut takut dengan orang yang rambutnya blonde. Aku ingat
waktu itu sampai kepala sekolah TK tersebut mengajakku ke ruangannya karena tak
tega aku kecapean karena menjadi guru dadakan. Tapi entah kenapa, aku tidak
merasa lelah, ada sesuatu disana yang menahanku, membuatku betah menjelaskan
bahwa bahasa inggrisnya baling-baling adalah propeler. Ya, kunci mengajar anak
TK adalah pengulangan. Saat waktu istirahat tiba, aku biasa duduk dengan teman
buleku itu dalam diam, karena aku berkecamuk dengan pikiranku sendiri dan dia mungkin shock karena merasa JobDesc di sistem
berbeda jauh dengan praktek nya hahaha. Selalu, ada anak yang mendekatiku
malu-malu sambil bercerita tentang om nya yang juga bule, atau pamer bekal nya,
atau sekedar melaporkan bahwa temannya akan segera menangis karena dinakali
temannya yang lain. Swear to God, I’ve never thought that I will experience
this case.
Aku
anak tunggal. Jangan tanya bagaimana rasanya. Kalau dulu aku punya saudara lalu
dia meninggal mungkin kau bisa bertanya bagaimana rasanya, tapi aku tunggal
sejak aku lahir dan sampai detik ini. Iya benar, aku akan selalu mendapatkan
apa yang aku mau. Tapi nyatanya, aku tak pernah diajari untuk meminta. Aku anak
tunggal, tak pernah berurusan dengan anak kecil apalagi mengatasi yang ngambek
di kelas karena tidak kebagian stiker dari Australia. Ibuku dengan rutin
mengatakan bahwa aku akan jengah dengan anak kecil, ya aku akui memang kalau
aku tidak sabaran, tapi entahlah, aku merasa aku senang melihat mereka, apalagi
yang mengintip-ngintip dari jendela ruang kepala sekolah.
Proyek
selanjutnya adalah bermain dengan anak-anak di desa Tepus. Silahkan kalian cek
bagaimana topografi di daerah itu. Aku volunteer menemani teman-teman dari
China dan Taiwan disana. Susah air dan kalau pagi anginnya mau tak mau akan
membuatmu bangun saking kencangnya. Suatu hari, karena kami tinggal di sanggar
belajar masyarakat, anak-anak di dusun tersebut berkumpul di sanggar untuk
membaca. Aku lupa bagaimana kejadiannya, yang aku ingat adalah aku harus menjelaskan
teknis permainan kepada teman-teman buleku ini dan akhirnya voilaaaa....kami
yang beda warna kulit dan beda bahasa ibu bisa bermain ceklek-ceklek (aku juga
lupa nama permainannya, ini adalah kata yang harus diucapkan saat bermain). Aku bertugas
menunjuk darimana permainan dimulai, memperhatikan siapa yang curang dan
memberi hukuman. Tentu saja semua aku lakukan dengan 2 bahasa. Tapi bukan itu
esensinya, esensinya adalah aku merasa dibutuhkan, karena hari-hari berikutnya mereka
(teman-teman buleku dan anak-anak dusun) akan mencariku ingin bermain permainan
yang sama dan yang lain, ingin saling mengucir rambut, ingin diajari cara
menabuh ember kosong dan ingin sekedar menghabiskan waktu bersama. Aku senang
bisa menjadi jembatan mereka. Aku senang bisa membuat mereka merasakan sesuatu
yang waktu itu belum membuat mereka bosan (hahahaha iya, anak kecil kan mudah
bosan).
Kenapa
aku menulis pengalamanku dengan anak kecil disini? Hhhhhhhmmmmmm...pertanyaan
bagus. Aku pikir anak kecil itu masih polos, mimpinya belum pernah diragukan,
senyumnya belum pernah dianggap sebagai pencitraan, dan marahnya pun tak pernah
berlarut. Bukankah dengan umur kita sekarang kita selalu ingin menjadi anak
kecil lagi? Juga, alasan kenapa aku memberi contoh tentang anak kecil adalah
karena aku belum pernah berinteraksi dengan anak kecil yang menyebabkan
interaksi sekecil apapun akan sangat kuperhatikan, bahkan wajah takut-takut
anak dusun saat temanku dari Cina akan mengepang rambutnya.
Aku anak
tunggal. Banyak pemikiran di luar sana yang berkata bahwa anak tunggal itu
egois, hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Well, mungkin dulu aku begitu,
entahlah aku juga lupa. Aku anak tunggal dan tak pernah kesulitan mendapatkan
yang aku inginkan, sampai suatu hari aku tau tak semua orang bisa mendapatkan
apa yang mereka inginkan dan rasanya....entahlah, aku merasa ada sesuatu yang
salah dengan itu. Rasa bersalah itu sedikit berkurang saat aku bisa melakukan
sesuatu untuk mereka, menjadi translator dan pengamat di permainan tradisional
misalnya. Rasa bersalah itu berkurang saat aku bisa aware dengan kebutuhan
batin dan lahiriah mereka, yang bahkan mereka tak paham dan bisa melakukan
sesuatu dengan itu. Rasa bersalah itu berkurang saat aku sharing dengan mereka,
saling memberi pemahaman dan pengalaman tentang hidup yang bermacam-macam dari
berbagai belahan dunia. Rasa bersalah itu berkurang saat aku bisa melihat
mereka tersenyum dan berkata “terima kasih”.
Change?
I think I’m changing for something good.
Comments
Post a Comment