Adakah musafir itu pemalu?
Membaca perjalanan Agustinus Wibowo, membuat aku sadar bahwa ia tak memperlihatkan lebih dari apa yang bisa terlihat oleh orang lain. Dia tidak menjelaskan pada kakek Pakistan penuntun keledai yang menemaninya melewati tebing curam di sebelah Amu Darya bahwa dia sebenarnya bukan Muslim dan bukan keturunan Indonesia asli. Tak perlu.
Tak perlu, karena apa yang terlihat memang akan bisa berubah. Kalau di At-Tibyan dituliskan salah satu adab penghafal Al Quran adalah dengan menjaga penampilan dzahir (karena memuliakan hafalan yang telah dimilikinya), maka rasanya bukan sesuatu yang aneh jika orang yang awalnya dekil ga karuan berubah drastis bersih, rapi, dan menarik dalam rangka syukur sudah diberi nikmat hafal Al Quran secara penuh.
Kita semua musafir. Dalam pikiran kita sendiri, dalam pikiran orang lain dan bahkan dalam hidup itu sendiri. Dan mereka yang merasakan diri sedang berjalan, akan sadar sepenuhnya bahwa ia hanya musafir.
Perasaan ragu yang aneh dua kali kudapati saat aku mendaftar pondok pesantren dan sukarelawan untuk NGO yang berfokus dalam bidang pendidikan. Waktu dulu mendaftar pesantren, aku ditanyai ummi soal pengalaman organisasiku, bingung sudah dari rumah aku menimbang perlukah kusebutkan pengalamanku sebagai panitia acara musim kusebutkan. Ragu, dan aku memutuskan untuk menceritakannya saja. Untuk kegiatan sukarelawan, aku ditanyai organisasi apa yang sedang aku ikuti, saking ragunya, kuperlukan untuk menengok chat list di Whatsapp untuk melihat organisasi apa yang aku ikuti. Ternyata aku diakui sebagai anggota divisi kajian dan dakwah suatu masjid. Ragu, aku cantumkan pula itu di formulir pendaftaraan. Iya, namun aku akhirnya tuliskan jua.
Aku terus menimbang sambil menulis halaman ini dalam ragu. Apa yang aku ragukan?
Adakah itu judgement dari ummi pesantrenku bahwa aku sudah terlalu jauh dari tuntunan syariat?
Atau judgement dari panitia acara yang menudingku sebagai remaja masjid yang kerjaannya hanya ngaji?
Sepersekian persen, iya jawabannya.
Aku musafir yang pemalu, karena ragu untuk menceritakan kisahku. Kalau kata Pram, aku belum adil dalam perbuatan dan pikiran. Aku masih berpikir lama, memilah cerita mana yang akan lebih menguntungkanku.
Seharusnya, tak perlu.
Ibarat ada orang bertanya padaku soal jalan mana yang kutempuh jika hendak ke kampus. Misal aku memilih jalan mblasuk dan gang kecil, karena memang aku tahunya hanya jalan itu (saat itu), dan aku menolak menjawab pertanyaannya. Toh kita berada di kampus yang sama, padahal.
Perbedaanku dengan Agus adalah aku ditanyai dan terlibat dialog aktif, sedang ia tidak, sedang persamaannya adalah kita sama sama pemalu.
Membaca perjalanan Agustinus Wibowo, membuat aku sadar bahwa ia tak memperlihatkan lebih dari apa yang bisa terlihat oleh orang lain. Dia tidak menjelaskan pada kakek Pakistan penuntun keledai yang menemaninya melewati tebing curam di sebelah Amu Darya bahwa dia sebenarnya bukan Muslim dan bukan keturunan Indonesia asli. Tak perlu.
Tak perlu, karena apa yang terlihat memang akan bisa berubah. Kalau di At-Tibyan dituliskan salah satu adab penghafal Al Quran adalah dengan menjaga penampilan dzahir (karena memuliakan hafalan yang telah dimilikinya), maka rasanya bukan sesuatu yang aneh jika orang yang awalnya dekil ga karuan berubah drastis bersih, rapi, dan menarik dalam rangka syukur sudah diberi nikmat hafal Al Quran secara penuh.
Kita semua musafir. Dalam pikiran kita sendiri, dalam pikiran orang lain dan bahkan dalam hidup itu sendiri. Dan mereka yang merasakan diri sedang berjalan, akan sadar sepenuhnya bahwa ia hanya musafir.
Perasaan ragu yang aneh dua kali kudapati saat aku mendaftar pondok pesantren dan sukarelawan untuk NGO yang berfokus dalam bidang pendidikan. Waktu dulu mendaftar pesantren, aku ditanyai ummi soal pengalaman organisasiku, bingung sudah dari rumah aku menimbang perlukah kusebutkan pengalamanku sebagai panitia acara musim kusebutkan. Ragu, dan aku memutuskan untuk menceritakannya saja. Untuk kegiatan sukarelawan, aku ditanyai organisasi apa yang sedang aku ikuti, saking ragunya, kuperlukan untuk menengok chat list di Whatsapp untuk melihat organisasi apa yang aku ikuti. Ternyata aku diakui sebagai anggota divisi kajian dan dakwah suatu masjid. Ragu, aku cantumkan pula itu di formulir pendaftaraan. Iya, namun aku akhirnya tuliskan jua.
Aku terus menimbang sambil menulis halaman ini dalam ragu. Apa yang aku ragukan?
Adakah itu judgement dari ummi pesantrenku bahwa aku sudah terlalu jauh dari tuntunan syariat?
Atau judgement dari panitia acara yang menudingku sebagai remaja masjid yang kerjaannya hanya ngaji?
Sepersekian persen, iya jawabannya.
Aku musafir yang pemalu, karena ragu untuk menceritakan kisahku. Kalau kata Pram, aku belum adil dalam perbuatan dan pikiran. Aku masih berpikir lama, memilah cerita mana yang akan lebih menguntungkanku.
Seharusnya, tak perlu.
Ibarat ada orang bertanya padaku soal jalan mana yang kutempuh jika hendak ke kampus. Misal aku memilih jalan mblasuk dan gang kecil, karena memang aku tahunya hanya jalan itu (saat itu), dan aku menolak menjawab pertanyaannya. Toh kita berada di kampus yang sama, padahal.
Perbedaanku dengan Agus adalah aku ditanyai dan terlibat dialog aktif, sedang ia tidak, sedang persamaannya adalah kita sama sama pemalu.
Comments
Post a Comment